Tidak
cukup hanya menjalin hubungan dengan konsumen, namun juga perlu
kolaborasi. Hal ini juga perlu diterapkan para tenaga dan penentu
kebijakan pemasaran di lapangan. Dalam dua kunjungannya ke Indonesia
(pada 2009 dan 2011), Bapak Marketing Modern Philip Kotler selalu
menegaskan kepada para tenaga pemasaran untuk memperhatikan konsumen.
Hal ini misalnya terekam jelas ketika dia memaparkan pentingnya konsep
collaborative marketing.
Menurut dia, konsep tersebut lebih
efektif dari sekadar relationship marketing. Dua modal pemasaran ini
samasama melibatkan konsumen, namun kadarnya berbeda. Pada relationship
marketing, konsumen tidak dilibatkan dalam mendesain produk. Pola ini
lebih banyak untuk menjaga komunikasi. Berbeda dengan konsep
collaborative marketing yang melibatkan konsumen lebih dalam.
Hal
ini ditandai dengan co-created experiences. Keterlibatan pelanggan
dalam menghasilkan produk yang lebih baik menjadi bagian penting dari
pendekatan pemasaran saat ini. Konsumen diberikan ruang untuk terlibat
pada produk yang akan dihasilkan produsen. Produk yang dihasilkan
merupakan penerjemahan personalisasi konsumen. Dengan pendekatan
pemasaran kolaborasi ini, produsen dituntut sebisa mungkin menerjemahkan
pribadi konsumen.
Pasar dalam collaborative marketing harus
dimaknai sebagai forum pertemuan ide antara produsen dan konsumen. Dalam
collaborative marketing, konsumen bukan hanya diletakkan sebagai
pembeli pasif. Mereka harus aktif memberikan ide terhadap sebuah produk.
Dari forum inilah, produk unik yang berasal dari penerjemahan ide
konsumen akan dibuat. Untuk menjadikan pasar sebagai sebuah forum,
produsen harus secara aktif menjalin interaksi langsung dengan para
konsumen.
Sebisa mungkin mereka menggali keinginan konsumen. Hal
ini bisa dilakukan lewat diskusi langsung dengan konsumen atau
memanfaatkan berbagai komunitas produk yang ada. Misalnya komunitas
pengguna motor, mobil, maupun merek tertentu. Menurut Kotler, masa depan
pemasaran akan ditandai dengan kolaborasi antara produser dan seluruh
stakeholder, termasuk pelanggan.
Dengan begitu, produk-produk
yang dihasilkan merupakan kreasi bersama yang berjalan dua arah
(collaborative creation/co-creation). Sementara pada kunjungannya Mei
2011, Kotler menjelaskan pentingnya prinsip marketing 3.0. Menurut dia,
terdapat tiga prinsip pemasaran yang dapat menjadi pegangan bagi pelaku
usaha agar sukses. Prinsip marketing 1.0 lebih berkonsentrasi pada
produk.
Jika ada produk bagus, disodor-sodorkan kepada pelanggan,
tanpa memperhatikan unsur lain. Sedangkan untuk marketing 2.0 lebih
berkonsentrasi pada pembuatan produk yang diinginkan customer. “Nah,
untuk marketing 3.0, belum tentu bisa dilakukan hal tersebut kalau
memang bisa merusak human spirit,” ungkap Kotler kala diskusi informal
bertajuk “Going World Class with The New Chapter of Marketing” pada Mei
tahun lalu.
Menurut Kotler, dalam marketing 3.0 yang menjadi
perhatian bukan hanya kepuasan konsumen, melainkan juga hubungan baik
dan spirit kemanusiaan. Dia mencontohkan, produk yang memadukan
ketiganya adalah Kidzania (tempat bermain anak). Ini merupakan tempat
untuk mengimplementasikan prinsip marketing 3.0.
“Saya pikir
Kidzania ini tempat yang tepat untuk menerapkan prinsip marketing 3.0.
Di sini selain memberikan penawaran produk, tetapi juga memberikan
edukasi kepada anak-anak untuk membentuk karakter di kemudian hari.
Mereka dipaksa untuk mengikuti, jadi saya pikir ke depan akan bagus bagi
anak-anak terebut,” papar Kotler.
Dia juga menjelaskan, seorang
pemasar juga harus mengetahui terlebih dahulu seperti apa pasar yang
dituju untuk memasarkan produk. Jika seorang pemasar tidak tahu apa yang
mereka jual dan siapa pasarnya, si pemasar tadi tidak akan bisa
mencapai apa yang diinginkan. Kotler bersama Hermawan Kertajaya dan Iwan
Setiawan juga menulis buku berjudul Marketing 3.0: From Product to
Customers to the Human Spirit. (*/Harian Seputar Indonesia) |