By: Ratih
Siapa kira ternyata makanan pun bisa menjadi topik dalam sebuah puisi. Di Eropa, tema makanan merupakan bagian dari sejarah sastra yang tidak bisa dipungkiri turut membangun ciri peradaban masyarakatnya. Seperti juga di Indonesia, puisi merupakan gambaran dari keprihatinan penyair yang secara ajaib menerima “wahyu.” Tak semua orang mampu menjadi penyair. Sebab penyair bukanlah seseorang yang dibentuk secara matematis. Penyair memiliki kepekaan yang luar biasa tanpa perhitungan akal. Kadang bukan hanya gambaran masyarakat masa kini yang mampu dirangkum oleh seorang penyair, melainkan ramalan masa depan pun mampu dikemas dengan apik ciamik meski huruf alfabet hanya ada 26.
Di Indonesia kita punya Chairil Anwar yang mendobrak norma dengan puisi “Aku.” Kehidupannya yang tak terikat soal hubungan asmara dan kerja menjadi awal kehidupan orang masa kini yang tak percaya pernikahan yang tak mau kerja sebagai buruh. Kebebasan Chairil merupakan merdeka dengan prinsip relijius, diam-diam ia mencari makna hidup. Memang bukan agama yang ia pegang teguh, melainkan prinsipnya sendiri yang tak seolah tak mau ambil pusing. Jalan hidupnya memang menarik, sebagai anak tunggal ia dimanja sekaligus dikecewakan karena keluarganya terpecah belah. Puisi pertamanya ditulis karena neneknya meninggal, sejak itu dia tersentak dengan kenyataan bahwa hidup pasti akan berakhir dengan kematian. Puisi dari Chairil Anwar berikut berhubungan dengan “dapur”:
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)
Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954
Lalu, era berganti dan Sitok Srengenge sang penyair mengejutkan dunia sastra Indonesia dengan puisinya yang suram, lugas, sederhana dan bermakna dalam. Ia memperoleh beberapa penghargaan di luar negeri karena puisi-puisinya yang tak biasa. Salah satu buku kumpulan puisi favoritku adalah “Haram Jadah.” Puisi-puisi Sitok Srengenge dibukukan dengan ilustrasi gambar Agus Suwage. Nampaknya tak mudah memahami sekali baca puisi-puisi sekelas Sitok Srengenge. Diksi yang hadir tak biasa didengar di telinga awam, namun pada saat bersamaan memberi pengertian yang pas untuk keseluruhan puisi. Novelnya yang terbaru berjudul “Menggarami Burung Terbang” diawali dengan: Tidur, Cintaku, tidurlah tenang. Nuansa ini hampir sama dengan nuansa kematian yang gelap, meski sesaat.
Di Eropa, para penyair masa kini menulis puisi dari bahasa Latin disesuaikan dengan kehidupan modern. Misalnya saja “The Physics of Taste” diambil dari Book IV oleh Lucretius “On the Nature of the Universe”. Ditulis pada tahun 50 SM, puisi Lucretius merupakan sebuah puisi filsafat dari Epicurus. Pada masa kini, tulisan filsafat terdapat dalam prosa. “Nice Food” diambil dari “On Things that are Good to Eat” oleh Ennius (terlahir pada 239 SM). Seperti juga Lucretius, Ennius mempersembahkan versi Roma dari tradisi Yunani (Wilkins. 1996).
Akhirnya, perlu disadari bahwa makanan bukan sekedar sebuah kewajiban demi hidup. Makanan mewakili esensi dari sebuah sistem yang kompleks. Kerumitan ini dimaknai secara mendalam oleh para penyair sehingga tiba pada kita arti fenomena-fenomena hidup menuju kematian. Tak mudah menjadikan dapur sebagai pusat ide, bila tak cukup aware menghubungkannya dengan berita sosial di luar sana. Berita yang perlu disaring kebenarannya. Perlu dikritisi dan disusun alur sejarahnya. Soal perut, bukan dosa lagi bila dengan perut otak dan hatimu berjalan seiring. Tertarik menulis puisi dengan tema makanan atau mau langsung saja santap makanan khas Eropa? Di Pizza Hut, Tamani atau Marzano? It’s up to you.
Daftar Pustaka:
Wilkins, John. 1996. Food In European Literature. Exeter: Intellect Books.