Social
entrepreneurship alias kewirausahaan sosial diyakini banyak kalangan
sebagai salah satu solusi terhadap masalah sosial dan ekonomi. Malah
tidak sedikit yang beranggapan bahwa kewirausahaan sosial salah satu
solusi mengatasi kemiskinan.
Anggapan tersebut yang diyakini Bill
Drayton, pendiri sekaligus CEO Ashoka, asosiasi global para
wirausahawan sosial yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat.
Kewirausahaan sosial, kata Drayton, adalah wadah di mana sektor bisnis
dan masyarakat bekerja secara bersamaan. Dengan makna yang lebih dalam,
setiap orang bisa menjadi agen perubahan yang bisa meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
“Kewirausahaan sosial adalah profesi pertama yang terorganisasi secara global,” ungkapnya sebagaimana dikutip Ashoka.org. Kendati
begitu,tanggung jawab seorang wirausahawan sosial amat berat. Sebab,
bukan hanya perubahan sosial yang harus diciptakan, tetapi juga harus
mampu mengubah sistem yang berlaku di masyarakat. Wajar jika muncul
asumsi yang menyebutkan kewirausahaan sosial adalah pertemuan antara
pola kapitalisme dan sosialisme.
Terlepas dari asumsi apa pun
yang muncul, kewirausahaan sosial mampu menciptakan inovasi sosial yang
diukur dari seberapa besar unsur kebaruan yang dikreasikan dalam
memberikan dampak terhadap kehidupan sosial masyarakat. Awalnya
kewirausahaan sosial ditujukan sebagai kegiatan nirlaba. Di mana
praktik-praktik yang dilaksanakan hanya bertujuan untuk perubahan sosial
di masyarakat. Tetapi, inovasi yang muncul dari kewirausahaan sosial
justru menumbuhkan hasil ekonomi sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Perilaku manusia selalu di dorong motif
ekonomi. Dengan mendapat hasil ekonomi,manusia akan terpacu dan terus
memelihara usahanya. Peran sosial tercapai, kemiskinan bisa diatasi, dan
keberlanjutan kegiatan lebih terjamin. Meski begitu, kewirausahaan
sosial masih tetap mempertimbangkan untung rugi layaknya bisnis pada
umumnya. Prinsip-prinsip ekonomi seperti efisiensi pendanaan juga
diterapkan.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah orientasi
keuntungan yang diraih dinikmati secara pribadi, atau bersama- sama
masyarakat sekitar? Sebab, belakangan muncul asumsi bahwa kewirausahaan
sosial mengalami pergeseran. Kini tidak semata-mata bicara soal sosial
tetapi lebih kepada unsur bisnis. Dengan kata lain, kewirausahaan sosial
berkembang menjadi salah satu private entrepreneurship. Tetapi anggapan
itu disanggah keras Drayton dalam Jurnal Innovation 2006 dengan
menyebutkan apa yang dilakukan wirausahawan sosial semata-mata untuk
menciptakan perubahan di bidang ekonomi dengan kegiatan-kegiatan sosial.
“Apa yang mereka lakukan bukanlah pekerjaan, tetapi itu adalah
hidupnya,” tegas Drayton.
Contoh sukses aksi kewirausahaan
sosial ditunjukkan pria Bangladesh, Muhammad Yunus, dengan sistem
Grameen Bank. Peraih Nobel Perdamaian 2006 ini tidak hanya menetapkan
pola baru untuk kredit mikro bagi masyarakat kecil, tetapi juga
menghilangkan jarak antara perbankan dengan masyarakat kecil yang selama
ini selalu dianggap tidak layak bank (bankable). Sejak nama Yunus
muncul, banyak orang bertanya, usaha yang ditekuninya ini bisnis atau
sosial?
Di satu pihak, Yunus membebaskan masyarakat dari
kemiskinan, namun di lain pihak, lembaga yang ditanganinya dikelola
secara profesional bisnis. Tetapi, Yunus menjawabnya dengan tetap
mempertahankan prinsip awal Grameen Bank sebagai bentuk kewirausahaan
sosial, didasarkan kepada tanggung jawab sosial pada masyarakat.
Terbukti, Yunus sukses memerangi kemiskinan di negaranya. Menurut Yunus,
masyarakat menjadi miskin bukan karena mereka malas atau bodoh. Orang
menjadi miskin karena mereka tidak memiliki struktur finansial yang bisa
membantunya. Kemiskinan, kata Yunus, adalah masalah struktural, bukan
persoalan personal.
“Supaya bisa terbang, Anda harus punya sayap.
Bagi orang-orang miskin, modal yang murah adalah sayap. Kalau tidak
punya sayap, mereka tidak akan bisa keluar dari kemiskinan,” tandas
Yunus.
Karena itu, Yunus memberi masyarakat di sekitarnya akses
untuk mendapatkan sayap-sayapnya sendiri.Sebab,ada orang yang
terperangkap kemiskinan karena ulah mereka sendiri, karena cara berpikir
yang keliru. Ada yang dibentuk nilai-nilai sosial yang dianut, ada yang
mengalami kesulitan tertentu. Namun ada pula yang miskin karena “tak
punya sayap” seperti kesehatan, pendidikan, akses permodalan dan pasar,
teknologi, infrastruktur, dan lain sebagainya.
Melalui Grameen
Bank, Yunus berhasil menyelamatkan jutaan warga Bangladesh dari
kemiskinan. Bahkan, sistem yang dia gunakan di Grameen Bank kini
diadopsi di berbagai negara dunia ketiga untuk memerangi kemiskinan,
termasuk Indonesia. (*/Harian Seputar Indonesia)
|