Sejak awal, sosok yang satu ini sudah jadi pimpinan. Tapi, itu tidak membuatnya berpangku tangan. Moh
Fitriady Maturu masih di bangku kuliah saat estafet usaha keluarga
menghampirinya. Bisnis peternakan petelur yang dibangun almarhum ayahnya
sejak 1989, mesti dia lanjutkan pada 2006. Peternakan ada di Takalar,
sedangkan dia juga harus fokus pada pendidikannya di Yogyakarta. Tapi
itu bukan kendala. Namun, kendala kemudian datang juga. Meski
sebagian orang menganggap mengelola bisnis warisan itu mudah, tetapi
tidak bagi Ady, sapaan akrab pria ini. “Ibarat masuk ke sebuah rumah yang perabotnya sudah lengkap, kita tak selalu nyaman duduk di semua bagian. Begitulah,” ujar dia, baru-baru ini. Adi
menilai, melanjutkan usaha keluarga butuh kerja keras. Sebab, dia mesti
menyelami semua pekerjaan, juga mengerti semua karyawan. Makanya, dia
tidak menempatkan dirinya sebagai bos. Walau memimpin bisnis ini, dia
juga ikut memberi pakan ayam atau menghitung telur. Dia
mengistilahkannya; susah senang sama-sama. Dalam waktu enam
tahun, Ady berhasil melakukan ekspansi-ekspansi bisnis. Lahan, karyawan,
produksi, dan tentu saja penghasilan bertambah. Saat ini, omzet
peternakannya mencapai Rp350 juta per tahun. Populasi ayamnya kini 25
ribu ekor, bertambah 10 ribu ekor sejak usaha ini dilepas sang ayah. Cukup
sukses, tapi jiwa enterpreneur Ady terus bergelora. Dia melirik bisnis
lain. Petuah almarhum sang ayah menjadi pegangannya. “Beliau pernah
bilang, jangan menempatkan telur dalam satu keranjang saja. Kalau jatuh,
kemungkinan pecah semua. Begitu juga dalam berbisnis, jangan cuma
satu,” ucapnya. Pria kelahiran Sungguminasa, 9 Juni 1986 itu pun
terjun di bisnis furnitur. Usaha ini sebenarnya sudah dirintis sejak
2007. Lagi-lagi saat dia masih kuliah. Memilih bisnis ini, Ady terbilang
modal nekad. Sebab, dia awam sama sekali soal mebel. Makanya, dia
belajar langsung ke Jepara, salah satu kiblat industri mebel di
Indonesia. Dari Yogyakarta, Ady selalu ke Jepara setiap Sabtu dan
Minggu. Pada sebuah siang, dia mendapat diperhadapkan pada sebuah
momen. Saat itu dia naik becak dan bayar Rp10 ribu. Padahal, ternyata,
tempat yang akan ditujunya hanya terpisah blok. Sangat dekat. Tapi dia
ikhlas. Tak sia-sia, kesabarannya membuahkan hasil. Di blok
itulah dia bertemu seseorang bernama Dwi Tungga. Pria yang kemudian
menjadi orang kepercayaannya untuk menjalankan bisnis furnitur, bahkan
sampai sekarang. “Waktu itu saya memang ke Jepara tanpa satu pun relasi,
begitu juga di Makassar yang menjadi target pasar saya,” kenangnya. Ady
mengambil langkah berani. Dia mendatangkan 20 ft kontainer mebel ke
Makassar. Padahal, saat itu dia hanya mendapat pesanan dari orang-orang
dekat. Tapi, dia ambil risiko. Begitu barang tiba, dia mulai
memasarkannya. Awalnya hanya dipromosikan di keluarga besarnya. Dari
situ, bisnisnya menjalar. Kini, Ady sudah mempekerjakan 15
karyawan di Sujati Furniture, nama usaha mebelnya. Mulanya Makassar
hanya menjadi area distribusi. Barang tetap dari Jepara. Tapi kini,
pihaknya juga sudah memproduksi beberapa jenis mebel. Rata-rata omzet
per bulannya antara Rp100 juta-Rp200 juta. Lagi-lagi cukup
sukses, namun Ady lagi-lagi masih berpikir untuk melebarkan sayap
bisnis. Suami dr Khaeriah ini sedang melirik bisnis properti.
“Semua juga karena petuah orang tua. Ayah dan ibu saya PNS. Mereka
pernah bilang, kalau mengandalkan penghasilan pemerintah itu hanya cukup
untuk hidup secukupnya,” ucapnya. Nah, karena Ady ingin lebih
dari itu, dia memilih terus menjadi pengusaha. Dengan menjadi pebisnis,
dia bisa mendapat penghasilan lebih. Dengan itu juga, ketua komunitas
bisnis Tangan di Atas (TDA) Makassar itu bisa membantu sesama. Ady
menilai, anak muda menjadi pengusaha sedang tren. Itu bagus. Namun, dia
menggarisbawahi, jangan menjadi pengusaha hanya karena tren dan
coba-coba. Bisa-bisa hasilnya juga akan coba-coba. Keinginan bisnis
harus dari hati. “Prinsip saya, memulai usaha itu mudah.
Mempertahankannya jauh lebih sulit,” tandasnya. Ady menilai,
pebisnis itu harus punya mental tangguh. Kalau sedang tak beruntung
alias merugi, jangan serta merta meninggalkan bisnis itu. Kata dia,
pengusaha yang ulet harus menjadikan masalah, termasuk kerugian, sebagai
tantangan. (*/Fajar Online) |