Dunia
usaha semakin menjanjikan di mata kaum muda. Daya gerak yang cepat dan
pola pikir yang kreatif merupakan modal terpenting bagi mereka untuk
menuju kesuksesan. Karena itu, mereka perlu memikirkan perencanaan
keuangannya.
Menurut studi yang dilakukan Institusi Pendamping
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Indonesia, Pillar Business
Accelerator, 50% masyarakat Indonesia di usia produktif menjadi
pengangguran. Padahal, pendidikan yang ditempuh tidak menutup
kemungkinan sampai di perguruan tinggi. Hal ini disebabkan pola
pendidikan yang berorientasi hanya menjadi pekerja.
Sementara
lapangan pekerjaan tidak cukup memadai dengan tingginya keluaran
perguruan tinggi setiap tahun. Untuk itu, kaum muda perlu melibatkan
diri menjadi pengusaha. “Pola pikir yang menekankan untuk menjadi
pegawai di sebuah perusahaan besar harus diubah, dan segera beralih
menjadi pengusaha muda yang kreatif dan inovatif,” kata Direktur
sekaligus Founder Pillar Business Accelerator Lyra Puspa.
Saat
ini, imbuh Lyra, kaum muda dituntut untuk melek dunia usaha. Tidak
sedikit pengusaha muda yang telah mendapatkan omzet miliaran rupiah per
tahun dalam bisnis yang mereka geluti. Kendati tidak sedikit pula yang
masih coba-coba, kemauan untuk berwirausaha bagi kaum muda tidak boleh
ditunda-tunda. Apalagi, keinginan berwirausaha di kalangan kaum muda
saat ini sudah semakin tinggi. Namun, yang harus dilakukan adalah
melakukan pendampingan bagi kelangsungan usaha mereka.
“Optimalisasi
berbisnis mereka harus difokuskan pada pembangunan kapasitas
berwirausaha. Bukan sekadar memotivasi mereka, tapi juga pendampingan
seumur hidup. Memberikan mereka akses jaringan untuk masuk komunitas
usaha,” kata Lyra.
Lyra menambahkan, target kaum muda untuk
terjun di dunia usaha adalah pilihan cerdas, sebab kemampuan mereka
lebih dahsyat, energinya lebih tinggi, tidak punya beban memikirkan
keluarga, dan lebih berani. “Jika mereka jadi pengusaha, larinya akan
lebih cepat, apalagi jika didampingi dengan mentoring,” tandas perempuan
kelahiran Jakarta, 22 Januari 1975 ini.
Kondisi demikian,
lanjut Lyra, sangat berbeda dengan mereka yang baru terjun ke dunia
usaha saat berusia 35 tahun ke atas. Usia yang tidak lagi produktif,
penuh pertimbangan, dan beban pikiran sudah bermacam-macam. Sementara
yang masih usia muda, mereka sudah bisa langsung speed up. “Menjadi
entrepreneur muda jangan ditunda lagi. Meski begitu, harus diiringi
dengan pendampingan terus menerus untuk menghindari kegagalan yang
terlalu lama. Gunakan energi maksimal ketika masih di usia produktif.
Terakhir, yang perlu dipahami pebisnis muda adalah melatih kesabaran,
agar mencapai wisdom,” ujarnya.
Sementara pemilik Kedai Digital,
Saptuari Sugiharto, mengatakan bahwa menjadi pengusaha muda biasanya
diliputi dengan berkali-kali kegagalan. Hal itu biasa karena setiap
orang mempunyai masa jatuh atau gagal. “Yang terpenting adalah mereka
harus fokus berwirausaha. Tidak boleh patah semangat,” kata pria yang
melakukan promosi usahanya melalui media sosial ini.
Namun,
keresahan yang sering menggejala di kalangan kaum muda yang sudah terjun
di dunia bisnis, dan mempunyai penghasilan sendiri, mereka tidak bisa
mengatur keuangan. Ada kecenderungan di masa peralihan mereka yang
semula tidak punya penghasilan, kemudian sangat boros. Tidak memikirkan
keberlanjutan modal usaha di masa depan. Karena itu, ahli perencana
keuangan Safir Senduk menegaskan, kalangan muda yang terjun di dunia
usaha, harus bisa mengatur keuangan mereka. Kebanyakan mereka tidak
berpikir bagaimana keberlanjutan usaha jika sudah mendapatkan
keuntungan.
Padahal, itu merupakan kesalahan. Para pelaku usaha
di usia muda yang baru pertama kali terjun, kata Safir, kerap
mencampuradukkan uang hasil usaha dengan pribadi. Akhirnya, mereka
sering kedodoran saat ingin melakukan pembelian barang. “Mereka umumnya
kurang bagus dalam mengatur keuangan. Karena itu sering mengalami
kegagalan dan tidak mau berbisnis lagi. Seharusnya mereka bisa memutar
uang hasil usaha,” kata Safir.
Untuk bisa memutar keuntungan
hasil usaha, imbuh Safir, para pengusaha muda harus bisa memisahkan
antara keuangan berbisnis dengan keluarga. Kemudian, untuk memenuhi
kebutuhan keluarga setiap bulan, harus dipastikan gaji pribadi setiap
bulan. Jadi, tidak campur aduk.
“Cara yang lain, yang lebih
teknis adalah menggunakan sistem akuntansi untuk bisa mengetahui
pengeluaran dan pendapatan. Kalau bisa pakailah karyawan akuntansi,
namun yang pegang uang tetap harus pemilik usaha. Dengan demikian,
pengusaha muda tidak mudah tergoda untuk membelanjakan pendapatan usaha
mereka,” tukasnya.
Sering kali para pelaku usaha muda merasa
telah menjadi kaya karena mendapatkan penghasilan yang besar dari
usahanya. Mereka kerap membelanjakan uang untuk kebutuhan yang
sebetulnya tidak terlalu diperlukan.
“Dari luar terlihat seperti
orang kaya, tapi karena uang hasil usaha tidak diputarkan untuk balik
modal atau investasi, bisa dipastikan bisnisnya maka tidak akan bertahan
lama. Kaya bukan dilihat dari profesinya, tapi dinilai dari investasi.
Untuk usia muda ada baiknya memilih usaha investasi yang sifatnya
pendapatan bertumbuh, sementara untuk usia senior cocoknya pada
investasi pendapatan tetap,” pesan Safir. (*/Harian Seputar Indonesia) |