Yang lebih mengesalkan Karim adalah, setelah ia jual, ENRG malah mulai bergerak naik. Tiga bulan kemudian, ENRG bertengger di kisaran 180. “Kalau ENRG turun ke 120, saya beli balik lah,” Karim berpikir. Tapi ENRG bukannya turun, tapi naik ke 250 dan Karim membeli di harga tersebut karena ia yakin ENRG akan naik terus.
Tepat setelah Karim beli, ENRG kembali turun. Siklus di atas terulang kembali, dan lagi-lagi Karim rugi.
Dari ilustrasi di atas, Karim HANYA rugi 20%. Kenyataan di bursa menunjukkan bahwa banyak investor yang enggan cut-loss waktu rugi sedikit, akhirnya menjual saham ketika rugi sudah membengkak.
Coba anda bayangkan kalau Karim membeli saham di harga Rp 1000 lalu saham tersebut turun ke Rp 100. Ia rugi 90% dan kondisi ini bisa-bisa mengancam kesehatan finansialnya.
Saya yakin kasus yang menimpa Karim bukan suatu yang langka. Mungkin anda pun pernah mengalaminya. Saya sendiri mengalami hal tersebut berpuluh-puluh kali ketika saya baru mulai main saham. Kalau saja waktu itu ada yang mengajarkan saya untuk cut-loss, tentu saya tidak akan rugi 40-70% di 5 tahun pertama saya berkecimpung main saham.
Mungkin anda masih ngeyel dan berkata,”Selama ini saya tidak pernah cut-loss. Kenyataannya saham saya setelah turun sementara, akhirnya naik ke harga lebih tinggi dari harga beli.”
Percayalah, sebelum anda belajar teknik main saham yang lain, yakinkan dulu diri anda betapa pentingnya cut-loss. Tidak ada yang bisa menyelamatkan anda dari kehancuran financial bila anda tidak pernah mau cut-loss.
Mau tahu cara cut-loss? Silahkan baca pos “Cara Cut-Loss Untuk Stop Kerugian Saham.”
Pos-pos yang berhubungan:
- Stress Main Saham Takkan Pupus
- Saham Naik ke Harga Tertinggi. Saatnya Jual?
[Pos ini ©2010 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]